Minggu, 13 April 2014

BAB I
PENDAHULUAN



1.1          Latar Belakang
          Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintahan di dalam suatu negara merupakan unsure yang sangat penting. Pemerintahan merupakan sebuah unsure yang digunakan sebagai suatu syarat berdirinya suatu negara. Tanpa pemerintahan, maka suatu negara tidak akan dapat terbentuk. Pemerintah memiliki peran dan fungsi yang sangat vital terutama didalam mengayomi dan melayani masyarakat.
Berbicara tentang Etika Birokrasi dewasa ini menjadi topik yang sangat menarik dibahas, terutama dalam mewujudkan aparatur yang bersih dan berwibawa. Kecenderungan atau gejala yang timbul dewasa ini banyak aparat birokrasi dalam pelaksanaan tugasnya sering melanggar aturan main yang telah ditetapkan.
          Etika Birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan sangat terkait dengan moralitas dan mentalitas aparat birokrasi dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan itu sendiri yang tercermin lewat fungsi pokok pemerintahan , yaitu fungsi pelayanan, fungsi pengaturan atau regulasi dan fungsi pemberdayaan masyarakat. Jadi berbicara tentang Etika Birokrasi berarti kita berbicara tentang bagaimana aparat Birokrasi tersebut dalam melaksanakan fungsi tugasnya sesuai dengan ketentuan aturan yang seharusnya dan semestinya, pantas untuk dilakukan dan sewajarnya dimana telah ditentukan atau diatur untuk ditaati dan dilaksanakan.
Permasalahan yang muncul sekarang ini bagaimana proses penentuan Etika dalam Birokrasi itu sendiri, siapa yang akan mengukur seberapa jauh etis atau tidak, bagaimana kondisi saat itu dan daerah tertentu yang mengatakan bahwa sesuatu dianggap etis saja atau dapat dibenarkan, namun di tempat lain belum tentu. Dapat dikatakan bahwa Etika Birokrasi sangat tergantung pada seberapa jauh melanggar di tempat atau daerah mana, kapan dilakukannya dan pada saat yang bagaimana, serta sanksi apa yang akan diterapkan sanksi sosial atau moral ataukah sanksi hokum. Semua ini sangat temporer dan bervariasi di negara kita sebab terkait juga dengan aturan, norma, adat dan kebiasaan setempat.
BAB II
PEMBAHASAN


2.1     Pengertian Etika
          Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethes” berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau secara bebas dapat diartikan kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan. Dalam pengertian kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan sebetulnya tercakup juga adanya kesediaan karena kesusilaan dalam dirinya minta ditaati pula oleh orang lain.
          Aristoteles juga memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian yaitu etika meliputi Kesediaan dan Kumpulan peraturan, yang mana dalam bahasa Latin dikenal dengan kata Mores yang berati kesusilaan, tingkat salah saru perbuatan (lahir, tingkah laku), Kemudian kata Mores tumbuh dan berkembang menjadi Moralitas yang mengandung arti kesediaan jiwa akan kesusilaan. Dengan demikian maka Moralitas mempunyai pengertian yang sama dengan Etika atau sebaliknya, dimana kita berbicara tentang Etika Birokrasi tidak terlepas dari moralitas aparat Birokrasi penyelenggara pemerintahan itu sendiri.
          Etika dan moralitas secara teoritis berawal dari ilmu pengetahuan (cognitive) bukan pada afektif. Moralitas berkaitan pula dengan jiwa dan semangat kelompok masyarakat. Moral terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat, tidak ada moral bila tidak ada masyarakat dan seyogyanya tidak ada masyarakat tanpa moral, dan berkaitan dengan kesadaran kolektif dalam masyarakat. Immanuel Kant, teori moralitas tidak hanya mengenai hal yang baik dan yang buruk, tetapi menyangkut masalah yang ada dalam kontak sosial dengan masyarakat. Ini berarti Etika tidak hanya sebatas moralitas individu tersebut dalam artian aparat birokrasi tetapi lebih dari itu menyangkut perilaku di tengah-tengah masyarakat dalam melayani masyarakat apakah sudah sesuai dengan aturan main atau tidak, apakah etis atau tidak.
          Menurut Drs.Haryanto, MA, Etika merupakan instrumen dalam masyarakat untuk menuntun tindakan (perilaku) agar mampu menjalankan fungsi dengan baik dan dapat lebih bermoral. Ini berarti Etika merupakan norma dan aturan yang turut mengatur perilaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dimasyarakat agar dapat dikatakan tindakannya bermoral.
Dari beberapa pendapat yang menegaskan tentang pengertian Etika di atas jelaslah bagi kita bahwa Etika terkait dengan moralitas dan sangat tergantung dari penilaian masyarakat setempat. Dapat dikatakan bahwa moral merupakan landasan normatif yang didalamnya mengandung nilai-nilai moralitas itu sendiri dan landasan normatif tersebut dapat pula dinyatakan sebagai Etika yang dalam Organisasi Birokrasi disebut Etika Birokrasi.

2.2     Etika dalam birokrasi.
          Ketika kenyataan yang kita inginkan jauh dari harapkan kita, pasti akan timbul kekecewaan, begitulah yang terjadi ketika kita mengharapkan agar para aparatur Birokrasi bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab, kejujuran dan keadilan dijunjung, sementara kenyataan yang terjadi mereka sama sekali tidak bermoral atau beretika, maka disitulah kita mengharapkan adanya aturan yang dapat ditegakkan yang menjadi norma atau rambu-rambu dalam melaksanakan tugasnya. Sesuatu yang kita inginkan itu adalah Etika yang perlu diperhatikan oleh aparat Birokrasi tadi.
          Ada beberapa alasan mengapa Etika Birokrasi penting diperhatikan dalam pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel. Menurut Agus Dwiyanto, alasan pertama adalah masalah – masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah dimasa mendatang akan semakin kompleks. Modernitas masyarakat yang semakin meningkat telah melahirkaan berbagai masalah – masalah publik yang semakin banyak dan kompleks dan harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah. Dalam memecahkan masalah yang berkembang birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan – pilihan yang jelas seperti baik dan buruk. Para pejabat birokrasi seringkali tidak dihadapkan pada pilihan yang sulit, antara baik dan baik, yang masing – masing memiliki implikasi yang saling berbenturan satu sama lain.
          Dalam kasus pembebasan tanah, misalnya pilihan yang dihadapi oleh para pejabat birokrasi seringkaali bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus memilih antara memperjuangkan program pemerintah dan memperhatikan kepentingan masyarakatnya. Masalah – masalah yang ada dalam ‘grey area’ seperti ini akan menjadi semakin banyak dan kompleks seiring dengan meningkatnya modernitas masyarakat. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama dalam memberi ‘policy guidance’ kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
          Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan adjustments agar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Kemampuan untuk bisa melakukan adjustment itu menuntut discretionary power yang besar. Penggunaan kekuasaan direksi ini hanya akan dapat dilakukan dengan baik kalau birokrasi memiliki kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai besarnya kekuasaan yang dimiliki dan implikasi dari penggunaan kekuasaan itu bagi kepentingan masyarakatnya. Kesadaran dan pemahaman yang tinggi mengenai kekuasaan dan implikasi penggunaan kekuasaan itu hanya dapat dilakukan melalui pengembangan etika birokrasi.
          Walaupun pengembangan etika birokrasi sangat penting bagi pengembangan birokrasi namun belum banyak usaha dilakukan untuk mengembangkannya. Sejauh ini baru lembaga peradilan dan kesehatan yang telah maju dalam pengembangan etika ,seperti terefleksikan dalam etika kedokteran dan peradilan. Etika ini bisa jadi salah satu sumber tuntunan bagi para professional dalam pelaksanaan pekerjaan mereka. Pengembangan etika birokrasi ini tentunya menjadi satu tantangan bagi para sarjana dan praktisi administrasi publik dan semua pihak yang menginginkan perbaikan kualitas birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia.
          Dari alasan yang dikemukakan di atas ada sedikit gambaran bagi kita mengapa Etika Birokrasi menjadi suatu tuntutan yang harus sesegera mungkin dilakukan sekarang ini, hal tersebut sangat terkait dengan tuntutan tugas dari aparat birokrasi itu sendiri yang seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan yang ada dalam masyarakat dan seiring dengan fungsi pelayanan dari Birokrat itu sendiri agar dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat yang dilayani, diatur dan diberdayakan.
          Untuk itu para Birokrat harus merubah sikap perilaku agar dapat dikatakan lebih beretika atau bermoral di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, dengan demikian harus ada aturan main yang jelas dan tegas yang perlu ditaati yang menjadi landasan dalam bertindak dan berperilaku di tengah-tengah masyarakat.

2.3     Pendekatan filsafat terhadap etika pemerintahan Negara

1.   Filsafat Idealisme Sokrates( 470-399 sM )  bahwa kebenaran dan kebaikan nilai obyektif yang harus dijunjung tinggi oleh semua orang.
2.    Filsafat  Idealisme dari Plato (namanya aslinya Aristokles, 427-347sM ). Kebenaran sejati apa yang tergam-bar dalam ide. “ Pemerintahan Negara Ideal adalah komunitas etical untuk mencapai kebajikan dan kebaikan”.
a.           Filsuf Idealisme Thomas Hobbes ( 1588-1679 ) bahwa terkenal dengan Teori Perjanjian Sosial dalam pemerintahan, Kedaulatan kekuasaan absulut dan abadi, kekuasaan itu tertinggi dibatasi dengan UU.
b.           Filsuf  Idealisme John Locke ( 1632-1707 ) dengan Teori Perjanjian  bahwa kebahagiaan dan kesusilaan dihubungkan dengan peraturan yaitu : perintah Tuhan, UU Negara dan hukum pendapat umum  dengan prinsip liberty, eguality dan personality.
c.           Filsuf Reusseauu dengan teori “ Contract Social “ . Manusia mempunyai kekuasaan dan hak secara kodrat, kekuasaan negara berasal dari negara dan negara berasal dari rakyat. Intinya pemerintah yang berkuasa tidak monarkhi absolut.
d.           Filsuf Hegel dengan metode dialektika tentang pemerintahan negara bahwa : negara penjelmaan dari ide, rakyat ada demi negara agar ide kesusilaan, negara mempunyai hukum tertinggi terhadap negara  bagi kebahagiaan rakyat

2.4     Nilai-niali etika dalam pemerintahan
          Etika pemerintahan disebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara selaku manusia sosial (mahluk sosial). Nilai-nilai keutamaan yang dikembangkan dalam etika pemerintahan adalah :
a.    Penghormatan terhadap hidup manusia dan HAM lainnya.
b.    kejujuran baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya (honesty).
c.    Keadilan dan kepantasan merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang lain.
d.    kekuatan moralitas, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan (fortitude).
e.    Kesederhanaan dan pengendalian diri (temperance).
f.      Nilai-nilai agama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar manusia harus bertindak secara profesionalisme dan bekerja keras.

2.5       Wujud etika dalam pemerintahan
          Wujud etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam UUD baik yang dikatakan oleh dasar negara (pancasila) maupun dasar-dasar perjuangan negara (teks proklamasi). Di Indonesia wujudnya adalah pembukaan UUD 1945 sekaligus pancasila sebagai dasar negara (fundamental falsafah bangsa) dan doktrin politik bagi organisasi formil yang mendapatkan legitimasi dan serta keabsahan hukum secara de yure maupun de facto oleh pemerintahan RI, dimana pancasila digunakan sebagai doktrin politik organisasinya

2.6     Mewujudkan pemerintah yang baik dan sehat (Good governance)
a.           Pemerintahan yang konstitusional ( Constitutional )
b.           Pemerintahan yang legitimasi dalam proses politik dan administrasinya ( legitimate )
c.           Pemerintahan yang digerakkan sektor publik, swsata dan masyarakat ( public, private and society sector )
d.           Pemerintahan yang digerakkan sektor publik, swsata dan masyarakat ( public, private and society sector )
§  Prinsip Penegakkan Hukum,
§  Akuntabilitas,
§  Demokratis,
§  Responsif,
§  Efektif dan Efisensi,
§  Kepentingan Umum,
§  Keterbukaan,
§  Kepemimpinan Visoner dan
§  Rencana Strategis
e.           Pemerintahan yang menguatkan fungsi :  kebijakan publik  (Public Policy ), pelayanan publik ( Public Service ), otonomi daerah ( Local Authonomy ), pembangunan (Development ), pemberdayaan masyarakat ( Social Empowering )  dan  privatisasi ( Privatization )     

2.7        Prinsip Negara hukum dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan
a.              Supremasi Hukum ( Suprmacy of Law  )
b.              Persamaan dalam hukum ( Eguality before the Law)
c.              Asas Legalitas ( Due Process of Law );
d.              Pembatasan Kekasaan ;
e.              Organ-organ pemerintahan yng independen;
f.                Peradilan yang bebas dan tidak memihak;
g.              Peradilan Tata Usaha Negara(Constitutional Court );
h.              Peradilan Tata Negara;
i.                Perlindungan Hak asasi Manusia;
j.                Bersifat Demokratis ( Democratische Rechtsaats )
k.              Berfungsi sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare Rechtstaat)
l.                Transparansi dan Kontrol Sosial


2.8     Landasan etika pemerintahan Indonesia
a.           Falsafah Pancasila dan Konstitusi/UUD 1945 Negara RI;
b.           TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan  Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ;
c.           UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
d.           UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974  Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ( LN No. 169 dan Tambahan LN No. 3090 );
e.           UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dirubah dengan UU No. 3 Tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah ;
f.             PP No. 60 tentnag Disiplin Pegawai Negeri .

2.9     Masalah Etika dalam pemerintah
          Dewasa ini, banyak sekali kasus-kasus muncul berkaitan dengan penyelewengan etika organisasi pemerintah.  Salah satu contoh nyata yang masih saja dilakukan oleh individu dalam organisasi pemerintah yaitu KKN.
          Adapun definisi KKN yaitu suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara (dalam konsep modern), yang melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, kerap ditemui di tengah masyarakat tanpa harus melibatkan hubungan negara.
          Praktek KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di Indonesia tergolong cukup tinggi. Contoh di bidang perbankan khususnya, keberadaan UU No. 10 Tahun 1998 ternyata tidak cukup ampuh menjerat atau membuat jera para pelaku KKN. Dari data yang ada , diketahui ada beberapa kasus yang cukup mencolok dengan nominal kerugian negara yang cukup besar.
          Sebutlah kasus penyelewengan dana BLBI yang sampai saat ini sudah berlangsung hampir 10 tahun tidak selesai. Para tersangka pelakunya masih ada yang menghirup udara bebas, dan bahkan ada yang di vonis bebas dan masih leluasa menjalankan aktivitas bisnisnya. Yang lebih parah lagi, terungkap juga bukti penyuapan yang melibatkan salah satu pejabat Jampidsus beberapa waktu yang lalu.
          Praktek KKN dalam organisasi pemerintah khususnya, menjadi masalah berkaitan dengan etika organisasi pemerintah Karena ini merupakan penyelewengan dari apa yang seharusnya dilakukan dan dimiliki oleh seorang individu dalam organisasi pemerintah, yakni melayani rakyat dengan baik dan berusaha memberikan yang terbaik bagi rakyat.  Akan tetapi, dengan adanya peraktek KKN jelas merugikan bangsa dan negara.



BAB III
PENUTUP



3.1     Kesimpulan
          Pemerintahan birokrasi saat ini sedang mengalami kemunduran etika dan moralnya. Hal ini disebabkan oleh oknum-oknum pejabat yang tidak bertanggung jawab dengan tugas dan kewajibannya dalam melaksanakan pemerintahan di indonesia.
          Semua masalah-masalah seperti KKN penyalahgunaan wewenang dan lain sebagainya adalah terjadi akibat dari kurangnya Etika dan Moral dari para pemimpin bangsa ini. Sehingga yang menjadi korbannya adalah bumi pertiwi beserta masyarakat yang bergantung padanya. Oleh  karna itu Etika dalam pemerintahan sangatlah dibutuhkan oleh setiap pemimpin bangsa indonesia agar terwujudnya bangsa indonesia yang mampu menjadi bangsa yang mampu memperjuangkan kemerdekaannya dengan salaha satunya yakni mensejahterakan rakyatnya.


3.2     Saran
          Saran saya yaitu pentingnya pembinaan khusus mengenai akhlak, aqidah, yang didalamnya berisi ajaran Etika dan Moral kepada calon calon pemimpin bangsa yang bisa mereka jadikan sebuah pembelajaran yang sangat penting sehingga mereka mampu mengendalikan diri mereka sehingga pemerintahan yang ia pegang mampu berjalan dengan baik.





DAFTAR PUSTAKA


Kencana, Inu. 1991, Sistem Pemerintahan Indonesia:Jakarta.Gema Insane Press.

http://aiardian.wordpress.com/2009/07/22/contoh-makalah-etika-pemerintahan/

http://politikana.com/baca/2011/03/05/etika-pemerintahan.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Flickr Gallery