BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Abu
Ubaid merupakan seorang ahli hukum, ahli ekonomi Islam, ahli hadits dan ahli
bahasa Arab (ahli nahwu). Abu Ubaid, yang bernama lengkap al-Qasim bin Sallam
bin Miskin bin Zaid al-Harawi al-Azadi al-Baghdadi, lahir di Bahrah, propinsi
Khurasan, sebelah barat laut Afganistan, pada tahun 154 Hijriah. Ayahnya
keturunan Byzantium yang menjadi makula suku Azad.
Setelah
memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu
Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah,
Basrah dan Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata
bahasa Arab, qiraat, tafsir, hadits, dan fiqih (di mana tidak dalam satu bidang
pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Hasil karyanya
ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu Nahwu, Qawaid, Fiqh, Syair dan
lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal. Kitab al-Amwal
dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam
Islam.
Pada
tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur Thugur di masa pemerintahan
Khalifah Harun Al-Rashid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi (hakim) di Tarsus
hingga tahun 210 H. Setelah itu, Abu Ubaid tinggal di Baghdad selama 10 tahun.
Pada tahun 219 H, setelah berhaji, ia menetap di Makkah sampai wafatnya. Ia
meninggal pada tahun 224 H.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Singkat dan Karyanya
Abû
‘Ubaid dilahirkan di Bahrah (Harat), di propinsi Khurasan (Barat Laut
Afghanistan) pada tahun 154 H dari ayah keturunan Byzantium, maula dari suku
Azd. Nama aslinya al-Qosim ibn Salam ibn Miskin ibn Zaid al-Azdhi dan wafat
tahun 224 H di Makkah.
Ia
belajar pertama kali di kota asalnya, lalu pada usia 20-an pergi ke Kufah,
Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qirâ’ah, tafsir, hadis, dan
fikih (di mana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari
paham tengah campuran). Pada tahun 192 H, Thâbit ibn Nasr ibn Mâlik (gubernur
yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qâdi’
di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada
tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya.
Dalam
pandangan ulama lainnya, seperti Qudâmah Assarkhâsy mengatakan, “di antara
Syafi’i, Ahmad Ibn Hambal, Ishâq, dan Abû ‘Ubaid, maka Syafi’i adalah orang
yang paling ahli di bidang fikih (fâqih), Ibnu Hambal paling wara’ (hati-hati),
Ishaq paling huffâdz (kuat hafalannya) dan Abû ‘Ubaid yang paling pintar bahasa
Arab (ahli Nahwu)”. Sedangkan menurut Ibnu Rohubah: “kita memerlukan orang
seperti Abû ‘Ubaid tetapi dia tidak memerlukan kita”. Dalam pandangan Ahmad ibn
Hambal, Abû ‘Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya.
Menurut Abû Bakar ibn Al-Anbari, Abû ‘Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3
nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi
Abû ‘Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan
pedang di jalan Allah. Menurut Ishaq, “Abû ‘Ubaid itu yang terpandai di antara
aku, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal”. Dari pendapat-pendapat tersebut terlihat
bahwa Abû ‘Ubaid cukup diperhitungkan dan memiliki reputasi yang tinggi di
antara para ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan para Imam besar
sekaliber Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal. Kesejajarannya ini membuat Abû ‘Ubaid
menjadi seorang mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat diidentikkan pada satu
mazhab tertentu.
Hasil
karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qirâ’ah, fikih, syair
dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitâb Al-Amwâl dalam bidang
fikih. Kitâb al-Amwâl dari Abû ‘Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap
tentang keuangan negara dalam Islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah
perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan
rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para
sahabat dan tabi’în tentang masalah ekonomi[1]. Dalam bukunya tersebut Abû
‘Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan
pendapatnya sendiri.
Kitab
al Amwal merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid
yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan, hukum, serta hukum
administrasi dan hukum internasional. Kitab Al-Amwal secara komprehensif
membahas tentang sistem keuangan publik islam terutama pada bidang administrasi
pemerintahan. kitab ini juga memuat
sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama hijriyah, dan merupakan sebuah
ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya
mengenai permasalahan ekonomi. Abu ubaid, dalam Kitab Al-Amwal, banyak mengutip
pandangan dan perlakuan ekonomi dari imam dan ulama terdahulu. Ia sering
mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab
Syafi’i lainnya, dan juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan
Muhammad ibn al¬ Hasan asy-Syaibani.
Beberorang
meyakini bahwa Adam Smith dalam bukunya yang legendaris, The Wealth of Nations,
banyak dipengaruhi kitab Al-Amwal. Arti kata Al-amwal sama dengan arti kata The
Wealth, yaitu kekayaan. Dalam Pembahasan Ekonomi Neoliberal dihadapan 1.000
kiai di Pesantren Asshiddiqiyah, Kedoya, Jakarta Barat, Sabtu (13/6), yang
disampaikan Dr Adiwarman Karim dan sejumlah ekonom lain serta Ketua MUI Pusat
KH Maruf Amin, dinyatakan bahwa The Wealth of Nation karya Adam smith banyak
menyinggung tentang ekonomi Islam, antara lain pada jilid dua dan jilid lima.
Imam
Abu Ubaid dalam kitab berjudul Al Amwal memberikan definisi tentang Sistem
Keuangan Publik Islam, yaitu sebagai sunuf al-amwal al-lati yaliha al-a’immah
li al-raiyyah (sejumlah kekayaan yang dikelola pemerintah untuk kepentingan
subjek). Yang dimaksud subjek di sini adalah rakyat. Dalam definisi ini
terdapat empat konsep penting, yaitu :
1.
Istilah amwal, yang menjadi judul buku mengacu kepada kekayaan publik,yang
merupakan sumber keuangan utama negara, dikelompokkan menjadi fa’i, khums, dan
zakat.
Fa’i
yang dimaksud adalah yang termasuk kharaj, jizyah dan penerimaan lainnya
seperti, penemuan barang-barang yang hilang (rikaz) kekayaan yang ditinggalkan
tanpa ahli waris, dan lain-lain.
Khums
adalah seperlima dari hasil rampasan perang dan harta karun atau harta
peninggalan tanpa pemilik.
2.
A’immah mengacu kepada otoritas publik yang diberi kepercayaan untuk mengelola
wilayah kekayaan publik.
3.
Wilayah mengisyaratkan bahwa kekayaan itu tidak dimiliki otoritas, tetapi
merupakan kepercayaan demi kepentingan publik.
4.
Istilah ra’iyyah mengacu pada publik umum yang terdiri atas subjek muslim dan
non muslim dalam administrasi Islam, yang mana kepada mereka manfaat harta itu
didistribusikan.
Dalam
permasalahan zakat, Abu Ubaid berpendapat bahwa ada tiga tingkatan
pengelompokan sosio ekonomi yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan
kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat
tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Ia
juga tidak menyetujui penentuan batas tertinggi penerimaan zakat bagi para
mustahik. Ia menjelaskan bahwa dalam segi politik, kekayaan seseorang di bagi
menjadi dua, yaitu kekayaan yang tampak (amwal zahiriyah) dan kekayaan yang
tidak tampak (amwal batiniyah). Menurutnya, pemerintah memiliki kekuatan
politik hanya pada kekayaan yang tampak (amwal zahiriyah). Sebaliknya, harta
yang tesembunyi (amwal batiniyah), pemerintah tidak memiliki hak politik untuk
memaksa orang membayar zakat dari jenis kekayaan ini. berkebalikan dengan harta
yang tampak, yang masuk dalam wilayah zakat berkarakter politis, harta
tersembunyi masuk dalam wilayah zakat berkarakter religius.
Menurut
Abu Ubaid, penarikan dan penyaluran zakat dilakukan oleh wilayah di mana
masyarakat berada. Jadi, Penarikan zakat yang dilakukan pada suatu komunitas
masyarakat tertentu, berarti penyalurannya dilakukan juga pada komunitas
masyarakat di mana zakat tersebut diambil. Seperti halnya Mu’az yang mengambil
zakat dari penduduk Yaman (yang mampu), kemudian menyalurkannya kembali kepada
penduduk Yaman (yang berhak). Dengan pola distribusi yang menjadikan daerah
penarikan sekaligus sebagai daerah penyaluran dapat memberikan pengaruh yang
sangat besar dalam menjaga dan menumbuhkan ukhuwah dan solidaritas sosial dalam
sebuah komunitis masyarakat. Mengenai Hal ini menuturkan dengan kisah yang
dialami imam terdahulu, yaitu:
Pada
masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid
menuturkan dalam kitabnya, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil
zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak
menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar
mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu,
Umar kembali menolaknya dan berkata, Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor
upeti, tetapi saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di
sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga. Muadz
menjawab, “Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan
mengirimkan apa pun kepadamu[2].
Pada
tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar,
tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil
zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan Umar. Muadz berkata, Saya tidak
menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya
pungut.(Al-Qaradhawi, 1995).
Al-Amwal
hal.256:
Khalifah
Umar Abdul mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, gubernur Irak, agar
membayar semua gaji dan hak rutin di propinsi itu. Dalam surat balasannya,
Abdul Hamid berkata, Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka tetapi di
Baitul Mal masih terdapat banyak uang. Umar memerintahkan, Carilah orang yang
dililit utang tapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya. Abdul
Hamid kembali menyurati Umar, Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di
Baitul Mal masih banyak uang. Umar memerintahkan lagi, “Kalau ada orang lajang
yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah
maharnya. Abdul Hamid sekali lagi menyurati Umar, Saya sudah menikahkan semua
yang ingin nikah tetapi di Baitul Mal ternyata masih juga banyak uang.
Akhirnya, Umar memberi pengarahan, Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan
kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah pinjaman kepada mereka agar
mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut pengembaliannya kecuali setelah
dua tahun atau lebih. (Al-Qaradhawi, 1995).
B. Filosofi
Hukum dari Sisi Ekonomi
Abû
‘Ubaid dalam Al amwall jika dilihatdari sisi filsafat hukum maka akan tampak
bahwa Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya,
pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi
dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang
kepada hak-hak individual, publik dan negara; jika kepentingan individual
berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan
publik.
Tulisan-tulisan
Abû ‘Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah
legitimasi, sehingga pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah
untuk membuat keputusan (dengan kehati-hatian). Khalifah diberikan kebebasan
memilih di antara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu
berdasarkan pada ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang
tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi. Sebagai contoh, Abû ‘Ubaid
berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara ataupun
penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada
pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.
Lebih
jauh, pengakuannya terhadap otoritas imam dalam memutuskan untuk kepentingan
publik seperti membagi tanah taklukan pada para penakluk ataupun membiarkan
kepemilikannya pada penduduk setempat atau lokal, adalah termasuk dalam hal
tersebut. Mirip dengan itu setelah mengungkap alokasi dari khums, ia
menyebutkan bahwa imam yang adil dapat memperluas batasan-batasan yang telah ditentukan
apabila mendesaknya kepentingan publik. Akan tetapi di lain pihak, Abû ‘Ubaid
dalam pembahasannya secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak
boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan
pribadinya. Perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan atau
kemanfaatan publik.
Saat
membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia
menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari
subyek non-Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai “capacity to pay”
(kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim.
Pasukan Muslim atau karavan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non-Muslim
dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan
oleh perjanjian perdamaian.
Ia
membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat
diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Lebih jauh Abû ‘Ubaid
mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi Muslim, maka
komoditas komersial subyek Muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan
dibebaskan dari cukai (duty free). Ia juga menjelaskan beberapa bab untuk
menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj,[3] jizyah[4], ‘ushu[5]r atau
zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus
memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).
Dengan
perkataan lain, Abû ‘Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi
atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak
(tax evasion). Pada beberapa kasus ia tidak merujuk pada kharaj yang dipelopori
oleh Khalifah Umar ataupun ia melihat adanya permasalahan dalam meningkatkan
ataupun menurunkannya berdasarkan situasi dan kondisi membuat kita berpikir
bahwa Abû ‘Ubaid mengadopsi qawâ’id fiqh, “lâ yunkaru taghayyiru al-fatwâ bi
taghayyur al-‘azminah” (keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu
atau periode tidak dapat dielakkan). Namun, betapapun keberagaman tersebut
terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu
ijtihad yang didasarkan pada nash.
Abu
ubaid di dalam Al Amwal menjelaskan dengan mengutib Az Zuhri, Rasulullah
menerima jizyat dari majusi Bahrain, Az zuhri menambahkan siapa saja di antara
mereka memeluk islam, maka keislaman mereka diterima, dan keselamatan diri dan
hartanya akan dilindungi, selain tanah, sebab tanah tersebut adalah fa’i
(rampasan) bagi kaum muslim, karena orang-orang tersebut sejak awal tidak
pernah menyerah sehingga ia terlindungi. Dan dijelaskan lebih lanjut jika
jizyat gugur setelah seseorang kafir masuk islam, maka kewajiban kharaj tidak
gugur dengan sebab masuk islamnya tersebut, inilah awal munculnya kewajiban
berganda bagi setiap orang islam, kewajiban membayar zakat dan kewajiban
membayar jizyat.
C. Dikotomi
Badui ke Urban
Abû
‘Ubaid menegaskan bahwa berbeda dengan kaum badui( masyarakat
tradisional/desa), kaum urban atau perkotaan: 1) ikut terhadap keberlangsungan
negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim; 2) memelihara
dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; 3)
menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran
al-Qur’an dan al-Sunnah dengan diseminasi (penyebaran) keunggulan kualitas
isinya; 4) melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui
pembelajaran dan penerimaan hudud (prescribed finalties); 5) memberikan contoh
universalisme Islam dengan shalat berjamaah pada waktu Jum’at dan ‘Id.
Singkatnya
disamping keadilan ‘Abû ‘Ubaid mengembangkan suatu negara Islam yang
berdasarkan administrasi pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik
tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya
tidak menyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum Urban, tidak
dapat menerima manfaat pendapatan fai’ seperti kaum Urban, mereka tidak berhak
menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara
terhadap penerimaan fai’ hanya pada saat
terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau penyerangan musuh,
kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.
Abû
‘Ubaid memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara
ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa
terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan fai’, yang
mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial
terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abû ‘Ubaid mengakui adanya
hak dari para budak perkotaan terhadap arzak (jatah) yang bukan tunjangan.
Dari
semua ini Abû ‘Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur
menetap perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar perhargaan
martabat perkotaan. Solidaritas serta kerjasama merasakan kohesi sosial
berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur esensial
dari stabilitas sosio politik dan makroekonomi. Namun, mekanisme yang disebut
di atas meminjam banyak dari universalisme Islam membuat kultur perkotaan unggul
dan dominan dibanding kehidupan nomaden. Tetapi cukup mengejutkan bahwa Abû
‘Ubaid tidak dapat mengambil langkah selanjutnya dan berspekulasi pada isu-isu
pembagian kerja (division of labour), surplus produksi, pertukangan dan lainnya
dalam hubungan dengan organisasi perkotaan untuk kerjasama. Sebenarnya, dalam
hal ini analisa Abû ‘Ubaid lebih jelas dari sisio-politis dibanding ekonomi.
Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abû ‘Ubaid selalu
memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.
D. Kepemilikan
Publik
Abû
‘Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan
terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh
banyak ulama.
Saya
mengiginkan suatu hal yang dapat mencukupi generasi yang pertama dan generasi
yang terakhir[6]
“Demi
Allah biarlah terjadi apa yang kamu benci, sesungguhnya jika kamu membagikannya
maka keuntungan besar dari tanah aka suatu kaum (generasi). Setelah mereka
meninggal maka harta tersebut akan beralih kepada satu orang laki atau
perempuan kemudian datanglah setelah mereka suatu kaum yang membela islam
sedangkan mereka tidak mendapatkan suatupun maka pertimbangkanlah suatu hal
yang dapat mencukupi bagi generasi awal dan generasi terakhir mereka.[7]
Pernyataan
abu ubaid diatas mengisyaratkan bahwasannya keuntungan yang didapat dapat
dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat islam, selain itu terdapat pernyataan lain
yang mendukung pernyataan diatas:
Umar
menulis surat kepada sa’ad (bin Abi waqqash) setelah menaklukkan al qadisiyyah
katanya:
“.....
dan biarkanlah tanah dan sungai untuk para pengelolanya supaya hal itu menjadi
termasuk dalam pendapatan umat islam karena sesungguhnya jika kita
membagikannya kepada orang yang menaklukkannya niscaya orang yang sesudahnya
tidak akan mempunyai suatupun.[8]
E. Kepemilikan
dalam Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian
Sesuatu yang baru dalam hubungan antara
kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abû ‘Ubaid
secara implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti iqtâ’ terhadap
tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah
tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai
insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan
dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.
Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka
tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari
kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun
berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh
imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima, pribadi dengan maksud untuk
direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh
orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah
tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.
Adalah
tidak cukup dalam kepemilikan sepetak tanah mati dan yang terkandung di
dalamnya hanya dengan menggali sebuah sumur lalu meninggalkannya begitu saja;
setelah itu jika tidak diberdayakan atau ditanami tiga tahun berturut-turut
hanya harim dari sumber air tersebut yang dapat dimiliki, sedangkan yang
lainnya menjadi terbuka untuk direklamasi dan selanjutnya ditempati orang lain.
Jadi,
menurut Abû ‘Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput
penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada
hima (tanam pribadi). Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan
negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat.
F. Pertimbangan
Kepentingan
Setelah
merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima
zakat. Abû ‘Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa
pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung
untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan
perorangan. Bagi Abû ‘Ubaid yang paling penting adalah memenui kebutuhan dasar
seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan
dan kekurangan, tetapi pada waktu yang sama Abû ‘Ubaid tidak memberikan hak
penerimaan kepada orang yang memiliki 40 dirham (harta lain yang setara) di
samping pakaian, rumah dan pelayan (yang ia anggap sebagai suatu standar hidup
hidup minimum). Abû ‘Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham
(jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat
terhadap orang tersebut.
Karenanya
pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio ekonomi
pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena
wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak
berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu
ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum‘Abû
‘Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya
masing-masing” (likulli wâhidin hasba hâjatihi) dan ia secara mendasar lebih
condong pada prinsip “bagi setiap orang adalah menurut haknya”, pada saat ia
membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnya (pengelola) atas
kebijakan imam.
G. Fungsi
Uang
Ahmad
Hasan menjelaska bahwa kata nuqud (uang) tidak terdapat dalam Al Qur’an maupun
hadis Nabi Saw, karena bangsa Arab umumnya tidak menggunakan kata nuqud untuk
menunjukkan harga. Mereka menggunakan kata dinar untuk menunjukkan mata uang
yang terbuat dari emas, kata dinar untuk menunjukkan alat tukar yang terbuat
dari perak. Mereka juga menggunakan kata wariq untuk menunjukkan dirham perak,
kata ‘Ain untuk menunjukkan dinar emas. Sedang kata fulus (uang tembaga) adalah
alat tukar tambahan yang digunakan untuk membeli barang-barang murah.[9]
Menurut
Al-Ghazali dan Ibn Khaldun, definisi uang adalah apa yang digunakan manusia
sebagai standart ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran, dan media
simpanan.[10]
Abû
‘Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik
sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai
media pertukaran (medium of exchange).dalam hal ini ia menyatakan:
“
Ada hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apa
pun kecuali keduannya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang
paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaan untuk
membeli sesuatu (infaq)[11].
Pernyataan
abu ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai
uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak
layak untuk apa pun kecuali keduannya menjadi harga dari barang dan jasa.
Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abû ‘Ubaid terhadap
teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif
konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika
kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat
berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang
berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari
barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai
(store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi
tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib
terkena zakat dan jumlah zakatnya.
H. Pemikiran
Pada
dasarnya, pemikiran-pemikiran yang muncul dari banyak tokoh/pemikir mengenai
suatu hal yang berkaitan dengan sejarah sosial dalam pemikiran hukum islam
adalah hasil dari interaksi tokoh tersebut dengan lingkungan sosio-kultural
atau sosio-politiknya. Oleh karena itu, jika kita amati banyak hasil pemikiran
seseorang yang tergantung pada lingkungan sekitarnya. Hal ini memperkuat
alasannya dengan menunjuk kepada kenyataan sejarah bahwa produk-produk
pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnya tidak lebih
dari hasil interpretasi tersebut.
,,,,,,Atho
Mudzar mengatakan bahwa hal ini penting, sedikitnya karena dua hal. Pertama,
untuk meletakkan produk pemikiran hukum Islam itu pada tempat seharusnya.
Kedua, untuk memberikan tambahan keberanian kepada pemikir hukum Islam sekarang
untuk tidak ragu-ragu bila merasa perlu melakukan perubahan terhadap suatu
produk pemikiran hukum. Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam di berbagai
penjuru dunia telah melakukanya tanpa sedikitpun merasa keluar dari hukum
Islam.
Abu
Ubaid merupakan salah seorang ahli ekonomi islam yang telah merumuskan banyak
hal tentang kaidah-kaidah ekonomi islam dalam karya-karyanya. Diantaranya
adalah Kitab Al-Amwal.Kitab al-Amwal dihasilkan sebagai gabungan dari isi
buku-buku dari Kitab al-Kharaj dan Kitab al-Sadaqah (zakat). Kitab ini sering
kali dijadikan rujukan dalam menganalisis masalah ekonomi, terutama tentang
keuangan publik.
Di
sini saya mencoba untuk menganalisis sebuah produk hukum Islam yaitu Kitab Al
Amwalkarya Abu Ubaid. Kitab ini menjadi pilihan karena secara substansi berisi
pemikiran hukum Islam dari masa klasik, sesuai dengan adanya pembidangan di
atas maka Kitab ini dapat dikatakan sebagai rujukan dalam pembentukan
"Fiqh ekonomi". Hal ini karena pemikiran Abu Ubaid didasarkan atas
sumber-sumber otentik berupa al-Qur'an dan Hadist untuk kemudian dapat dimaknai
dalam pembentukan pranata sosial berupa pengembangan institusi ekonomi yang
sangat dibutuhkan manusia pada saat ini.
Selain
itu, tulisan ini juga menggunakan berbagai sumber terkait dalam melakukan
analisi guna mendapatkan pernyataan terbaik dalam hukum ekonomi islam. Tentu
saja dalam tulisan ini akan digunakan pendekatan sejarah sosial hukum Islam Abu
Ubaid, Biografi, Latar Belakang dan Pendekatannya, serta yang paling penting adalah
pemikiran-pemikiran dari Abu Ubaid terkait hukum ekonomi islam.
1. PEMIKIRAN EKONOMI ABU YUSUF
(113-182 H/731-798 M)
A. Riwayat Hidup
Ya’qub bin Ibrahim bin Habib bin Khusnais bin Sa’ad
Al-Ashari Al-Jalbi Al- Kufi Al-Bagdadi, atau yang lebih dikenal sebagai Abu
Yusuf, lahir di kufa pada tahun 113 H (731 M) dan meninggal dunia di Baghdad
pada tahun 182 H (798 M). Abu Yusuf meninba ilmu kepada banyak ulama besar.
Berkat berkat bibinga para gurunya serta di tunjang oleh
ketekunan dan kecerdasanya, Abu Yusuf tunbuh sebagai alim ulama yang sangat
dihormati oleh berbagai kalangan, baik ulama maupun penguasa masyarakat umum.
Sekalipun disibukan dengan bebagai aktivitas mengjar dan birokrasi , Abu Yusuf
masih meluangkan waktu untuk menunlis . Beberapa karya tulisnya adalah al-
Jawami’, ar-Radd’ala Siyar al-Auza’i, al-Atsar, Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi
Laila, Adad al-Qadhi, dan al-Kharaj.
B. Kitab al-Kharaj
Salah satu karya Abu Yusuf yang sangat monumental
adalah kitab al-Karaj (Buku tantang Perpajakan). Sekaliipun
berjudul al-Karaj, kitab tersebut tidak hanya mengandung pembahasan
tentang al-Karaj, melainkan juga meliputi brbagai sumber pendapatan
negara. Seperti halnya kitab-kitab sejenis yang lahir pada lima abad pertama
Hijriah,penekanan kitab karya Abu Yusuf ini terletak pada tanggung jawab
penguasa terhadap kesejahteraan rakyatnya. Ia merupakan sebuah upaya membangun
sebuah sistem keuangan yang mudah dilaksanakan sesui dengan hukum islam dalam
kondisi yang selalu berubah dengan persyaratan ekonomi.
C. Pemikiran Ekonomi
Dengan latar belakanng sebagai seaorang fuqadha beraliran
ahl ar-ra’yu, kakuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keuangan
publik. Dengan daya observasinya dan analisisnya yang tinggi, Abu Yusuf
menguraikan masalah keuangan dan menunjukan beberapa kebijakan yang harus
diadopsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Selain dibidang keuangan publik, Abu Yusuf juga
memberikan padanganya seputar mekanisme pasar dan harga, seperti bagaimana
harga itu ditentukan dan apa dampak dari adanya berbagai jenis pajak. Dalam
kedua hal terakhir tersebut , berdasarkan hasil observasinya sendiri, Abu Yusuf
mengungkapkan teori yang justru berlawanan dengan teori dan asumsi yang berlaku
dimasanya.
Negara dan Aktivitas Ekonomi
Dalam pandangan Abu Yusuf, tugas utama penguasa adalah
mewujudakan serta menjamin kesejaahteraan rakyatnya. Ia selalu menekankan
pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat dan kesejahteraan umum.Ketika bebicara
tentang pengdaan fasilitas infrastruktur, Abu Yusuf mengtakan bahwa negara
bertanggung jawab untuk memenuhi agar dapat meningkatkan produktifitas tanah,
kemakmuran rakyat serta peertumbuhan ekononomi.
2. PEMIKIRAN EKONOMI AL-GHAZALI
(450 – 505 H/1058 – 1111)
A. Riwayat Hidup
Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Tusi
Al-Ghazali lahir di Tus, sebuah kota kecil di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H
(1058 M). Sejak kecil, Imam Ghazali hidup dalam dunia tasawuf. Ia tumbuh dan
berkambang dalam asuhan seorang sufi, setelah ayahnya yang juga seorang sufi
meninggal dunia.
Sejak muda , Al-Ghazali sangat antusias terhadap ilmu
pengetahuan. Ia pertama-tama belajar bahasa arab dan fiqih di kota Tus,
kemudian pergi kekota Jurjan untuk belajar dasar-dasar Usul fiqih. Setelah
kembali kekota Tus selama beberapa waktu, ia pergi ke Naisabur untuk
melanjutkan rihlah ilmiahnya. Dikota ini, Al-Ghazali belajar kepada Al-Haramain
Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat pada tahun 478 H
(1085 M).
Oleh karena itu, pada tahun 488 H (1095 M), Al-Ghazali
meninggalkan Baghdad dan pergi menuju ke Syira untuk merenung, membaca, dan
menulis selama kurang lebih 2 tahun. Kemudian ia pindah ke Palestina untuk
melakukan aktivitas yang sama dengan mengambi tempa Baitul Maqdis. Al-Ghazali memilih
tempat kota ini sebagai tempat menghabiskan waktu dan energinya untuk
menyaebarkan ilmu pengetahuan, hingga meninggal dunia pada pada tanggal 14
Jumadil Akhir 505 H atau 19 Desember 1111 M.
B. Karya-karya
Al-Ghazali meurpakan sosok ilmuwan dan penulis yang
sangatproduktif. Berbagai tulisanya telah banyak menarik pergatian dunia, baik
dari kalangan Muslim maupun non Muslim.AL-Ghazali, diperkirakan telah
menghasilkan 300 buah karya tilis yang meliputi berbagai disiplin ilmu,seperti
logika, filsafat, moral, tafsir, fiqih, ilimu-ilmu Alqur’an, tasawuf, politik,
administrasi, dan prilaku ekonomi. Namun demikian, yang ada hingga kini hanya
84 buah. Di antaranya adalah Ihya ’Ulum al-Din, al-Munqidz min al-Dhalal,
Tahafut al-Falasifah, Minhaj Al-’Abidin, al-Mustashfa min ’Ilm al-Ushul, Mizan
Al-’Amal, Misykat al-Anwar, Kimia al-Sa’adah, al-Wajiz, Syifa al-Ghalil, dan
al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk.
C. Pemikiran Eonomi
Seperti halnya pera cendekiawan Muslim terdahulu,
perhatian Al-Ghazali terhadap kehidupan masyarakat tidak terfokus pada satu
bidang tertent, tetapi meliputi seluruh espek kehidupan manusia seluruhnya.
Berkaitan dengan hal ini, al-Ghazali memfokuskan seluruh perhatianya pada
prilaku individu yang dibahasnya menurut perspektif Alquran, sunah,
fatwa-fatwa, sahabat dan tabi’in, serta petuah-petuah para sufi terkemuka masa
sebelumnya, seperti Junaid Al-Baghdadi, Dzun Nun Al-Mishri, dan Harits bin Asad
Al-Muhasibi.
Al-Ghazali mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi
kesejahteraan sosialnya dalam kerangka sebuah hierarki utilitas individu dan
sosial yang tripartite, yakni kebutuhan, kesenangan atau
kenyamanan, dan kemewahan. Kunci pemeliharaan dari kelima tujuan dasar ini
terletak pada penyediaan tingkatan pertama, yaitu kebutuhan terhadapmakanan,
pakaian, dan perumahan.
1.Pertukaran Sukarela dan Evolusi Pasar
Permintaan, Penawaran, Harga, dan Laba
Etika Perilaku Pasar
2.Aktivitas Produksi
a. Produksi Barang-barang Kebutuhan Dasar
sebagau Kewajiban Sosial
b. Hierarki Produksi
c. Tahapan Produksi, Spesialisasi dan
Keterkaitanya
3.Barter dan Evolusi Uang
a. Problem Barter dan Ketuhan terhadap Uang
b. Uang yang Tidak Bermanfaat dan Penimbunan Bertantangan
Dengan Hukum Ilahi
c. Pemalsuan dan Penurunan Nilai Uang
d. Larangan Riba
4.Peranan Negara dan Keungan Publik
a. Kemajuan Ekonomi Melalui Keadilan, Kedamaian, dan
Stabilitas
b. Keuangan Publik
3. PEMIKIRAN EKONOMI AL-SYATIBI
(790 H/1388 M)
A. Riwayat Hidup
Al-Syatibi yang bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin
Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati merupakan salah satu cendekiawan Muslim yang
belum banyak mengatahui latar belakang kehidupanya. Yang jelas, ia berasal dari
usku Arab Lakhmi. Nama Al-Syatibi dinisbatkan kedaerah asal keluarganya,
Syaitibah (Xatiba atau Jativa), yang terletak dikawasan Spanyol bagian timur.
Al-Syaitibi dibesarkan dan memperoleh seluruh
pendidikanya di Ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan benteng
terakhir umat Islam di Spanyol. Msa mudanya bertepatan dengan masa pemerintahan
Sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang masa keemasan Islam setempat karena
Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada.
Setelah memperileh ilmu pengetahuan yang
memadai,Al-Syatibi mengembangkan potensi keilmuanya dengan mengjarkan kepada
para generasi berikutnya, seperti Abu Tahya ibn Asim, Abu Bakar Al-Qadi dan Abu
Abdilah Al-Bayani. Disamping itu, ia juga mewarisi karya-karya ilmiah,
seperti Syarh Jalil ’ala al-Khulashah fi al-Nahw dan Ushul al-Nahw
dalam bidang bahasa Arab dan al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah
dan al-I’tisham dalam bidang Ushul fiqih. Al-Syatibi wafat pada
tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).
B. Konsep Maqashid al-Syari’ah
Sebagai sumber utama agama Islam, Alquran mengandung
berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan Alquran dalam tiga bagian besar, yaitu
aqidan, akhlak, dan syariah. Alquran tidak memuat berbagai aturan yang
terperinci tentang ibadah dan muamalah. Ia hanya mengandung dasar-dasar atau
prinsip-prinsip bagi berbagai masalah hukum dalam Islam.
Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syariah
menyangkut perlindungan maqashid al-syri’ah yang pada
giliranya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Al-Syatibi menjelaskan
bahwa syariah berurusan dengan perlindungan mashalih, baikdengan
cara yang positif, seperti demi menjaga eksistensi mashalih, syariah
mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mashalih; maupun
dengan cara preventif, seperti syariah mengambil berbagai tindakan untuk
melenyapkan unsur apapun yang secara aktual atau potensial merusak mashalih.
1. Pembagian Maqashid al-Syari’ah
a.Dharuriyat
b.Hajiyat
c.Tahsiniyat
2. Korelasi Antara Dharuriyat, Hajiyat, dan
Tahsiniyat
Kerusakan pada maqashid dharuriyat akan
membawa kerusakan pula pada maqashid hajiyat dan maqashid tahsiniyat.
Sebaliknya, kerusakan pada maqashid hajiyat dan
maqashid tahsiniyat tidak dapat merusak maqashid dharuriya.
Kerusakan pada maqashid hajiyat dan maqashid
tahsiniyat yang bersifat absolute terkadang dapat merusak maqashid
dharuriyat
Pemeliharaan maqashid hajiyat dan maqashid
tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqashid
dharuriyat secara tepat.
Lebih jauh, telah menyatakan bahwa segala aktifitas atau
sesuatu yang bersifat tahsiniyat harus dikesampingkan
dengan maqashid yang lebih tinggi (dharuriyat dan hajiyat).
A. Beberapa Pandangan Al-Syatibi di Bidang Ekonomi
1. Objek Kepemilikan
Pada dasarnya, Al-Syatibi mengakui hak milik individu.
Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumberdaya yang dapat
menguasai hajad hidup orang banyak. Lebih jauh ia menyatakan bahwa tidak ada
hak kepemilikan yang dapat diklaim terhadap adanya pembangunan.
2. Pajak
Dalam pandangan Al-Syatibi, pemungutan pajak harus
dilihat dari sudut pandang maslahah(kepentingan umum). Oleh karena
itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun
pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam.
B. Wawasan Modern Teori Al-Syatibi
Dari pemaparan konsep Maqashid al-Syari’ah diatas,
terlihat jelas bahwa syariah menginginkan setiap individu memperhatikan
kesejahteraan mereka. Dengan kata lain, manusia senantiasa dituntut untuk
mencari kemaslahatan. Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi yang
mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut kebutuhan (needs).
4. PEMIKIRAN EKONOMI IBN KHALDUN
(732-808 H/1332-1406 M)
A. Riwayat Hidup
Ibn Khaldun yang bernama lengkap Abdurrahman Abu Zaid
Waliuddin ibn Khaldun lahir di Tunisia pada awal Ramadhan 732 H atau bertepatan
dengan 27 Mei 1332 M. Berdasarkan silsilahnya, Ibn Khaldun masih mempunyai
hubungan darah dengan Wail bin Hajar, salah seorang sahabat nabi yang
terkemuka. Keluarga Ibn Khaldun yang berasal dari Hadramaut, Yaman, ini
terkenal sebagai keluarga yang berpengetahuan luas dan berpangkat serta
menduduki berbagai jabatan tinggi kenegaraan.
Seperti halnya tradisi yang sedang berkembang di masa
itu, Ibn Khaldun mengawali pelajaran daari ayah kandungnya sendiri. Setelah
itu, ia pergi berguru kepada para ulama terkemuka, seperti Abu Abidillah
Muhammad bin Al-Arabi Al-Hashayiri, Abu Al-Abbas Ahmad ibn Al-Qushshar, Abu Abdillah
Muhammad Al-Jiyani, dan Abu Abidillah Muhammad ibn Ibrahim Al-Abili, untuk
mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, seperti tata bahasa Arab, hadis, fiqih,
teologi, logika, ilmu alam, matematika, dan astronomi.
Dari tahun 1375 M sampai 1378 M, ia menjalani pensiunnya
di Gal’at Ibn Salamah, sebuah puri di provinsi Oran, dan mulai menulis sejarah
dunia dengan muqaddimah sebagai volume pertamanya. Pada tahun
1378 M, karena ingin mencari bahan dari buku-buku di berbagai perpustakaan
besar, Ibn Khaldun mendapatkan izin dari Pemerintah Hafsid untuk kembali ke
Tunisia. Di sana, hingga tahun 1382 M ketika berangkat ke Iskandariah, ia
menjadi guru besar ilmu hukum. Sisa hidupnya dihabiskan di Kairo hingga ia
wafat pada tanggal 17 Maret 1406 M.
B. Karya-karya
Karya terbesar Ibn Khaldun adalah Al-Ibar (Sejarah
Dunia). Karya ini terdiri dari tiga buah buku yang terbagi ke dalam tujuh
volume, yakni Muqaddimah (satu volume), Al-Ibar (4
volume) danAl-Ta’rif bi Ibn Khaldun (2 volume). Secara garis besar,
karya ini merupakan sejarah umum tentang kehidupan bangsa Arab, Yahudi, Yunani,
Romawi, Bizantium, Persia, Goth, dan semua bangsa yang dikenal masa itu.
Namun demikian, Ibn Khaldun menguraikan dengan panjang
lebar teori produksi, teori nilai, teori distribusi, dan teori siklus-siklus
yang kesemuanya bergabung menjadi teori ekonomi umum yang koheren yang menjadi
kerangka sejarahnya.
C. Pemikiran Ekonomi
1. Teori produksi
Bagi Ibn Khaldum, prouduksi adalah aktivitas manusia yang
dioraganisasikan secara sosial dan internasional.
Tabiat Manusiawi dan Produksi
Organisasi Sosial dari Produksi
Organisasi Internasional
2. Teori Nilai, Uang, dan
Harga
Ibn Khaldum, dalam Muqaddinah-nya,
menguraikan teori nilai, teori uang,dan teori harga.
Teori Nilai
Teori Uang
Teori Harga
3. Teori Distribusi
Harga suatu produk terdiri dari tiga unsur: gaji, laba,
dan pajak.Setiap unsur ini merupakan imbal jasa terhadap kelompok dalam
masyarakat: gaji adalah jasa bagi produser, laba adalah imbal jasa bagi
pedagang, dan pajak adalah ambal jasa bagi pegawai negeri dan penguasa.
a. Pendapat tentang
Pengajian Eleman-elemen Tersebut
1.Gaji
2.Laba
3.Pajak
b. Eksitensi Distribusi
Optimum
Dengan denikian,besarnya ketiga jenis pendapataan ini
ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Menurut Ibn Khaldun, pendapat ini
memiliki nilai optimum.
1.Gaji
2.Laba
3.Pajak
4. Teori Siklus
Bagi Ibn Khaldum, produksi berganting pada penawaran dan
[ermintaan terhadap produk. Namun penawaran sendiri tergantung pada jumlah
produsen dan hasratnya untuk bekerja.Karenanya, variabel penentu bagi produksi
adalah populasi serta pendapatan dan belanja negara.
a. Siklus Populasi
b.Siklus Keuangan Publik
1. Pengeluaran pemerintah
2. Perpajakan
5. PEMIKIRAN EKONOMI AL-MAQRIZI
(766 – 845 H/1364 – 1442 M)
A. Riwayat Hidup Al-Maqrizi
Nama lengkap Al-Maqrizi adalah Taqiyuddin Abu-Abbas Ahmad
bin Abdul Qadir Al-Huasani. Ia lahir di desa Barjuan, Kairo, pada tahun 766 H
(1364 – 1365). Keluarga berasal dari Maqarizah, sebuah desa yang terletak di
kota Ba’la bak. Oleh karena itu, ia cenderung dikenal sebagai Al-Makrizi.
Kondisi ayahnya yang lemah menyebabkan pendidikan masa
kecil dan remaja Al-Maqrizi berada dibawah tanggungan kakeknya dari pihak ibu,
Hanafi ibn Sa’igh, seoerang pengnut mazhab hanafi. Al-Maqrizi muda pun tumbuh
berdasarkan pendidikan mazhab ini. Setelah kakeknya meninggal dunia pada tahun
786 H (1384 M), Al-Maqrizi beralih ke Mazhab Safi’i. Bahkan dalam pengembangan
pemikiranya, ia terlihat canderung menganut mazhab Zhahiri.
Ketika berusia 22 tahun, Al-Maqrizi terlibat dalam
berbagai tugas pemerintahan Dinasti Mamluk. Pada tahun 788 H (1386 M),
Al-Maqrizi memulai kiprahnya sebagai pegawai di Diwan Al-Insya,
semacam sekretariat negara. Pada tahun 791 H (1389 M), Sultan Barquq mengangkat
Al-Maqrizi sebagai muhtasib di Kairo. Pada tahun 881 H(1408
M), Al-Maqrizi diangkat sebagai pelaksana administrasi waqaf di Qalanisiyah,
sambil bekerja di rumah sakit an-Nuri, Damaskus.
Lima tahun kemudian, Al-Maqrizi kembali kekampung
halamanya, Barjuan, Kairo. Disni ia juga aktif mengjar dan menulis, terutama
sejarah Islam, hingga terkenal sebagai sebagaiseorang sejarawan besar pada abad
ke-9 Hijrah. Al-Maqrizi meninggal dunia di Kairo pada tanggal 27 Ramadhan
845 H atau bertepatan dengan tanggal 9 Februari 1442 M.
B. Karya-karya Al-Maqrizi
Semasa ,Al-Maqrizi sangat produktif menulis berbagai
bdang ,sejarah islam.Buku-buku kecilnya memiliki urgensi yang khas serta
menguraian berbagai macam ilmu yang tidak tidak terbatas pada tulisan sejarah.
Sedangkan karya tehadap karya-karya Al-Maqrizi yang berbentuk buku
besar,Al-Syayal membagi menjadi tiga kategori. Pertama, buku
yanng membahas sejarah dunia, Sepertikitab Al-Khabar ’an Al-Basyr. Kedua, buku
yag menjelaskan tentang sejarah Islam umum, seperti kitab Al-Durar
Al-Mahdi’ah fi tarkh Al-Daulah Al-Islamiyyah. Ketiga, buku yang
menguraikan sejah Mesir pada masa Islam, seperti kitab Al-Mawa’izh wa
Al-I’ibar bi Dzikr Al-Aimmah Al-Fathimiyyin Al-Khulafa, dan kitab
Al-Suluk li Ma’rifah Duwal Al-Muluk.
C. Pemikiran Ekonomi Al-Maqrizi
1. Konsep Uang
Sejarah dan Fungsi Uang
Implikasi Pencipta Mata Uang Buruk
Konsep Daya Beli Uang
2. Teori Inflasi
Inflasi Alamiah
Inflasi Karena Kesalahan Manusia
1)Korupsi dan Administrasi yang Buruk
2)Pajak yang Barlebihan
3)Peningkatan Sirkulasi Mta Uang Fulus.
Wawasan Modern Teori Al-Maqrizi
Apa yang telah dituangkan oleh Al-Maqrizi dalam karyanya
tersebut dapat dikatakan sangat berbau ilmu ekonomi modern. Jika kita
membandingkan karya Al-Maqrizi dengan karya dari ilmuwan Barat, maka karya
Al-Maqrizi tersebut dapat disetarakan dengan pemikiran ekonom-ekonom Barat dari
Abad XIX dan Abad XX. Pda dasarnya Al-Maqrizi membagi penyebab Inflasi
menjadi dua penyebab utama yaitu: penyebab alamiah (natural inflation) dan
penyebab kesalahan manusia (human error inflation).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Melalui
pendekatan sejarah sosial dapat dilihat bahwa sebuah produk pemikiran hukum
Islam pada dasarnya merupakan hasil interaksi pemikir itu sendiri dengan
lingkungan sosio-kultural atau sosio-politiknya. Demikian hal ini juga tampak
dalam pemikiran Abû ‘Ubaid. Kondisi pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang sangat
legitimate dan situasi keilmuan yang kondusif telah memberikan warna dalam
pemikiran Abû ‘Ubaid. Dalam hubungan antara penguasa dengan rakyat Abû ‘Ubaid
lebih menempatkan pada otoritas dan kebijakan penguasa. Ia rupanya begitu
percaya dan yakin terhadap khalifah akan membuat keputusan yang adil dan
senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat. Hal ini sangat wajar karena para
khalifah pada masanya secara integritas dan kapabilitas dapat menjalankan
tugasnya dengan baik.
Abû
‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian
dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial.
Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual,
publik, dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan
publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik. Inti dari pemikiran Abû
‘Ubaid adalah memberikan panduan etik dan moral dalam hal distribusi keuangan
publik (public finance) secara adil.
Azwar, Adiwarman. 2001. Ekonimi Islam suatu Kajian
Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
Azwar, Adiwarman. 2001. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Yogyakarta: International Insitute of Islamic Thought.
Azwar, Adiwarman. 2004. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Azwar, Adiwarman. 2008. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Siddiqi, Muhammad. 1986. Pemikiran Ekonomi Islam.
Jakarta: LIPPM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar