BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Paham kewajiban dan
kepatuhan membawa pula kepada paham balasan. Yang menjalankan kewajiban dan
patuh akan mendapat balasan baik dari Tuhan. Sedangkan yang tidak menjalankan
kewajiban dan yang tidak patuh akan mendapat balasan tidak baik dari Tuhan.
Kata Islam adalah bentuk
masdar (kata benda) dari kata kerja salima. Secara etimologi (harfiah),
kata salima berati selamat, damai, dan sejahtera. Sedangkan secara terminologi
Islam berarti penyerahan atau penundukan diri secara total setiap makhluk
kepada Allah SWT. Esensi makna Islam adalah “perdamaian”. Seorang
muslim (orang yang masuk Islam) adalah orang yang membuat perdamaian dengan
Tuhan dan manusia. Damai dengan Tuhan berarti tunduk dan patuh kepada-Nya, dan
damai dengan manusia berarti meninggalkan perbuatan yang buruk dan me-nyakitkan
(merugikan) orang lain.
Istilah
bagi hukum Islam in concreto, sering juga disebut fiqh
dihubungkan dengan daerah (negara) tempat fiqh tersebut diberlakukan. Umpama
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
berdasarkan Inpres No.1 tahun 1991, sebagai acuan hukum materil yang
diberlakukan di Pengadila Agama, disebut juga dengan fiqh Indonesia.
1.2 Tujuan
Penulisan
Agar dapat mengetahui,
memahami dan mengerti tentang dasar-dasar dan prinsip-prinsip hukum Islam
secara lengkap dan benar serta mampu menjelaskan hubungan hukum Islam dengan
hukum-hukum lain di tanah air Indonesia, sehingga semaunya mempunyai pandangan
yang benar dan objektif tentang kaikat hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Masuknya Islam ke Indonesia
Sebelum
Islam datang ke Indonesia, di kepulauan Nusantara ini sudah ada peradaban dan
kebudayaan, yang dibangun oleh kerajaan-kerajaan pada waktu itu. Pada abad ke 7
M kerajaan itu antara lain Kerajaan Sriwijaya yang menguasai Nusantara,
Kerajaan Tarumaneagara di jawa Barat, Kearajaan Kutai di Kalimantan, Kerajaan
Kedah di Semenanjung Malaya. Kemudian setelah abad ke 7 M, di tanah Jawa muncul
antara lain Kerajaan Mataram, Kerajaan Kediri dan Singosari dan Kerajaan
Majapahit yang meliputi seluruh Nusantara sebagai Kerajaan Sriwijaya
sebelumnya. [1]
Sedang
masuknya Islam ke tanah Jawa diperkirakan sudah terjadi pada sekitar abad 10 M,
melalui kota-kota pessir. Islam telah masuk ke tanah Jawa jauh sebelum
kedatangan Maualana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M, dan dimakamkan
di Gresik. Hal ini antara lain dibuktikan oleh adanya makam seorang wanita
Islam di kota Gresik yang bernama Fatimah binti Maimun bin Hibbatallah yang
berangka tahun 475/495 H, bertepatan dengan tahun 1082/1102 M.
Sebelum raja Kediri terakhir Kertajaya
(1200-1222) sudah ada pedagang-pedagang Islam yang datang ke tanah Jawa, bahkan
dalam permulaan abad ke 13 agama Islam sudah tersiar luas di kalangan rakyat,
hanya belum ada perhatian para ahli sejarah, oleh karena rajanya masih beragama
Hindu dan Budha.
2.2 Pengadilan Agama Pada Masa Kemerdekaan
Satu
tahun Indonesia merdeka, pembinaan Peradilan Agama yang semula berada dalam
Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah NO. 5/SD/1946. Kemudian dengan
Undang-Undang No. 19 tahun 1948, Peradilan Agama dimasukkan ke Peradilan Umum.
Namun menurut Hadari Djenawi Taher,[6] karena Undang-Undang tersebut tidk
sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia sendiri, maka tidak
dinyatakan berlaku.
Pada
masa perkembangan selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Darurat (UUDr) No. 1
Th. 1951, pemerintah menegasakan pendiriannya untuk tetap mempertahankan
Peradilan Agama, menghapud Peradilan swapraja dan Peradilan Adat.
Sebagai pelaksanaan dari Uud tersebut, kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 45 tahun 1957 yang mengatur Pembentukan Peradilan Agama di luar
Jawa Madura dan Kalimantan Selatan.[2]
Dalam
pasal 4 PP No. 45 tahun 1957, Komptensi Peradilan Agama di luar Jawa Madura dan
Kalimatan Selatan, disebutkan sebgai berikut:
Peradilan
Agama memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami-istri yang beragama
Islam, dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum
Agama Islam yang berkenaan dengan nikah, talaq, ruju’, fasakh, nahkah, maskawin
(mahar), tempat kediaman (maskan), mut’ah dan sebagainya., hadanah, perkara
wari-malwaris, wakaf, hibah, sadakah baitulmal dan lain-lain yang berhubungan
dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa
syarat ta’lik sudah berlaku.
Perundang-undangan
di atas tetap berlaku sampai kelak smuanya dicbut dengan UU No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Jumlah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama
terus berkembang. Sampai tahun 1995 di seluruh Indonesia, sudah tercatat
berdiri 25 Pengadilan Tinggi Agama dan 305 Pengadilan Agama.
Pada tahun 1970, lahir UU
No.14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, yang
mencabut perundang-undangan sebelumnya. UU No. 14 tahun 1970 disempurnakan de3ngan
No. 35 tahun 1999 tentang perubahan atas UU No. 14 tahun 1970, yang mulai
berlaku tanggal 31 Agustus 1999.
Undang-undang ini
mempertegas kedudukan badan Peradilan Agama sebagai mana disebutkan dalam pasal
10, 11, dan 12 yang berbunyi sebagai berikut:[3]
Pasal 10:
1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan
dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara
2) Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara
Tertinggi.
3) Terhadap putusan-putusan yang diberikan
tingkat terakhir oleh pengadilan-pengadila lain dari pada Mahkamah Agung,
kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung.
4) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi
atas perbuatan Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan
Undang-Undang.
Pasal 11 (setelah diperbaiki dengan UU
No.35/1999):
1) Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 10 ayat (1) secara organisatoris, administratif dan finansial
berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi,
dan finansial sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) untuk masing-masing
lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang sesuai dengan
kekhususan lingkungan peradilan masing-masing.
Pasal 12:
Susunan, Kekuasaan serta Acara dari
Badan-badan Peradilan tersebut dalam pasal 10 ayat (1) diatur dalam
Undang-undang tersendiri.
Berdasarkan
pasal 10 dan 11 di atas, kedudukan Peradilan Agama setingkat, sejajar, dengan
Peradilan Umum dan Peradilan lainnya. Dalam penjelasan pasal tersebtu
dinyatakan bahwa “Mahkamah Agung merupakan peradilan tingkat akhir (kasasi)
bagi semua lingkungan peradilan”.
2.3 Kondisi Hukum Islam Pada Masa Ini
Sebagaimana
telah Anda ketahui pembicaraan hukum pada periode-periode sebelumnya bahwa
ijtihad bergerak pada langkah pertumbuhan hingga mencapai puncak ketinggiannya;
pada periode kedua dan ketiga para sahabat dan tabi’in sibuk mencurahkan
kemampuannya dalam menjelaskan cara-cara istimbat dari Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya dan melukiskan langkah kerja yang akan diikuti oleh Oleh Para Ahli
Fikih sesudah mereka. Kemudian datang periode keempat, pertumbuhan ilmiah
sangat maju, banyak bermunculan para Mujtahid, banyak bermunculan hukum-hukum
dan penyusunan ushul dan kaidah-kaidah. Disamping itu, ada juga para ulama dan
fuqaha pada masa ini banyak mengikuti (muqalid) terhadap orang-orang yang mampu
berijtihad dalam mengeluarkan hukum-hukum, karena ijtihad itu keras yang tidak
bisa dilakukan kecuali bagi ulama khusus yang banyak memiliki sebab-sebabnya
dan sempurna perangkatnya.[4]
Pada
periode kelima, meskipun kelesuan merasuki jiwa para ulama dan menyebarkan
taqlid hingga mengungkung orang umum dan khusus, namun diantara mereka ada yang
memiliki kemampuan yang tinggi dalam mentakhrij, mentarjih dan ijtihad dalam
madzhab atas berbagai masalah. Mereka benar-benar telah mencurahkan
kemampuannya secara terpuji.
Pertama,
sampai awal-awal abad kesepuluh. Pada masa ini muncul ulama pandai seperti
syekh Kholil Al-Maliki, As-Subki, Ar-Ramli, Ibnu Ar-Rif’ah, Al-Hamam, As-Suyuti
dan lainnya yang memiliki ketentuan fikih (pemahaman) dan memiliki kemampuan
ini sebagaimana dilakukan para ulama sebelumnya dalam brijtihad dan mentakhrij;
tetapi mereka arahkan pada penyusunan, perubahan, dan mengarah kepada
peringkasan serta pngumpulan berbagai masalah cabang dalam ungkapan-ungkapan
yang sampai menyerupai teka-teki, dan memerlukan waktu yang lama untuk
memahaminya dan untuk mengetahui maksudnya hingga memerlukan penyusunan
kitab-kitab lain yang menjelaskan (mensyarah) kesamarannya, membuka ikatannya
dan mengungkapkan tujuan si pengarang menyusunnya. Ternyata jiwa meringkas juga
memasuki para pensyarah kita, maka terjemahlah untuk menta’liknya (catatan
kaki), demikian juga penyusunan seperti itu. Sekarang mereka mereka mwngwtahui
kitab-kitab ini dengan memahami ungkapan-ungkapannya, mudah memecahkan ungkapan
dan susunan bahasanya. Orang-orang disibukkan dengan permainan kata, sehingga
mereka lupa pada inti ilmunya. Inilah yang membuat otak banyak terkuras,
merusak ilmu yang telah dimiliki, mematikan kewibawaan dan kemampuan, serta
mengandung risiko pemahaman yang salah ketika itu semua dihafal dengan tanpa
pemahaman yang benar.
Lihatlah
apa yang terjadi dengan Ibnu Rif’ah ketika memberitahukan tentang sewa menyewa
ucpannya: Yaitu jual beli yang memanfaatkan apa yang dapat dipindahkan; bukan
perahu, binatang, yang tidak berakal, dengan tukaran/pengganti se;ain yang
terjadi dari hal-hal diatas, sebagian benda yang disewakan itu membagi sebagian
barang yang menjadi tukarannya. Kemudian salah seorang muridnya datang padanya,
bahwa kata “sebagian” tidak berarti meringkas dan kata itu tidak perlu disebut.
Ibnu Rif’ah terdiam selama dua hari, kemudian ia jawab hal itu di forum
pembahasan. Demikian juga yang terjadi dengan syekh Al-Amir dari madzhab
Maliki, serupa dengan apa yang terjadi pada Ibnu Rif’ah. Kedua, sejak abad
kesepuluh sampai sekarang.
Pada masa ini kondisi fikih masih banyak
memburuk, hal ini terjadi karena:
1. Para ulama telah memalingkan kemampuannya
untuk mempelajari kitab-kitab yang sukar ini dan memutuskan hubungannya dengan
kitab-kitab yang berharga tinggi tersebut yang ditinggalkan para
ulama. Kitab-kitab inilah yang menambah semangat dan membangkitkan keinginan,
mempengarahui semangat dan mengorbitkan para Ahli fikih yang handal karena
kecakapan penjelasannya, mudah sumbernya dan memenuhi tujuan yang dimaksud.
2. Terputusnya hubungan antara ulama kota-kota
Islam, padahal sebaik-baiknya wasilah untuk mengambil ilmu dan meluruskan jalan
yang menjurus ke hal itu adalah bertemu langsung kepada alim/orang pandai
secara lisan dan hal itu tidak akan tercapai kecuali dengan perjalanan dan
pertemuan mereka dengan kutub/sumbu ilmu di negeri yang berbeda-beda, belajar
kepada mereka, dan diskusi dengannya (kutub/tokoh).[6]
Bertemu memberi faedah sesuatu yang tidak
didapatkan dalam membaca saja, karena bertemu itu perbuatan yang mengasah otak,
membangkitkan pemikiran, lebih dekat mencapai yang dimaksud, lebih jauh dari
kesamaran dan kemungkinan, karena memudahkan bagi yang menemui (yang ingin
bertemu) untuk minta penjelasan yang asing baginya,dan tidak perlu pelajaran
pokok-pokok dan istilah-istilah yang berbeda karena berbedanya penmyusun dan
bagi penuntut ilmu memakan waktu yang lama dalam menuntutnya. Ibnu Khaldun
berkata dalam fasal kesimpulannya untuk menjelaskan bahwa dalam menuntut ilmu
dan menemui guru itu menambah kesempurnanaan dalam belajar. Hal itu dikarenakan
orang-orang itu terkadang menimba ilmu dan akhlaknya, serta kelebihan-kelebihan
yang terdapat dalam suatu madzhab tertentu dengan cara belajar, mengajar dan
talaqqi. Dan terkadang juga dengan cara bercerita dan mengajari secara
langsung. Akan tetapi penguasaan keilmuan dan pendalaman berbagai istilah dalam
pengajaran ilmu bercampur dengan murid yang sedang belajar. Dan hal ini tidak
dicegah selain dikarenakan perbedaan yang tampak nyata dalam metode pengajaran
dari para pengajar. Jadi, keberadaan ahli ilmu dan banyaknya syaikh bermanfaat
bagi pembedaan istilah-istilah yang dipandang sebagai perbedaan cara
pengajaran. Seiring dengan itu, kemampuan jadi bertambah dengan cara belajar
dan bertemu langsung dari para syaikh yang banyak jumlahnya dari berbagai
disiplin ilmu.
3. Karena telah banyak karangan dan penyusunan
ilmu-ilmu dan perangkatnya, ternyata hal ini menjadi sebab kemiripan,
pencampuran dan seidenya peneliti fikih tentang ijtihad dan
istimbat. Sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun: “Ketahuilah bahwa yang
membahayakan manusia dalam menghasilkan ilmu dan menetapi maksudnya adalah
karena banyak karangan, berbeda istilah dalam belajar, banyaknya metode,
sehingga umurnya tidak memadai, lain halnya apabialilmu itu satu teknik yang
tersendiri”.
Ketiga sebab ini yang
pertama yaitu berlebihan dalam meringkas, mempunyai pengaruh terburuk dalam
kemunduran fikih dan fuqaha serta menjauhkan ulama dari kemantapan
dan ijtihad.
Ringkasnya,
telah anda ketahui bahwa taklid itu bermakna mengikuti imam tertentu
dalamkeendak, sumber dan komitmen madzhabnya pada setiap yang dibawa madzhabnya
yang telah merebak pada jiwa para ulama di permulaan masa kelima.
Pada masa
ini taklid telah meluas dan menyebar dan para ulama hanya menguatkan hikayat
pendapat-pendapat para pendahulunya dan merasa puas dengan penjelasan (syarah),
kumpulan dan ketetapan yang ada pada pendahulunya tersebut. Adapun mengikuti
dan melalui cara ulama slaf tidak mereka lakukan sedikitpun.
2.4 Sebab-sebab Taklid dan Meluasnya
1. Seruan kuat yang gencar dilakukan para
pendukung madzhab yang dianut. Hal itu telah menutup hati dalam kepekatan,
meresap pada jiwa manusia dan mereka menganggap orang yang tidak mengambilnya
berarti telah keluar membuat bid’ah. Yang mendukung adanya hal ini diantaranya
bahwa murid-murid sebagian iman memiliki kedudukan dalam situasi sosial
(kemasyarakatan), berhubungan dengan khalifah dan menteri, sehingga membuat
mereka berlombs-lomba dalam menyebarluaskan madzhabnya itu dan menguatkannya
dengan berbagai cara. Para khalifah lebih mampu memobilisasi manusia untuk
mengarahkan pada hal-hal yang mereka cenderungi. Banyak para pejabat, menteri,
ornang-orang kaya yang mendirikan sekolah-sekolah dan mereka membatasi
pelajarannya pada satu madzhab atau beberapa madzhab tertentu. Ternyata hal ini
menjadi sebab diterimanya madzhab-madzhab tersebut dan berpaling dari ijtihad
demi memelihara rizki (madzhab para imam) yang telah mengatur mereka. Abu
Zar’ah bertanya pada gurunya Imam Bulqini, katanya:’Apa yang membatasi Syaikh
Taqiyuddin As-Subki untuk berijtihad, padahal perangkatnya telah sempurna?
Al-Bulqini terdiam. Maka Abu Zar’ah berkata lagi:” Menurutku penghalangnya
adalah tugas-tugas yang telah ditetapkan untuk para fuqahah atas madzhab yang
empat, dan ornag yang keluar dari sana serta berijtihad, maka ia tidak
mendapatkan apa-apa dan dilarang menguasai peradilan. Orang-orang tidak
menerima fatwanya dan ia dinisbahkan telah berbuata bid’ah.” Al-Bulqini
tersenyum dan menyetujui pendapat tersebut.[7]
2. Lemahnya kepercayaan terhadap para Qadhi
(hakim). Keadaan para Qadhi sebelum periode kelima dipilh dari Al-Qur’an,
Sunnah Rasul, yang masyhur ketakwaannya, shaleh, zuhud dan wara’. Maka mereka
memutuskan dengan Al-Qur’an, Sunnah dan Atsar Slaf Shaleh. Terkadang mereka
bertanya kepada Mufti lain apabila dirinya tidak dapat petunjuk hukum, maka
dengan demikian kepercayaan orang kepada mereka itu kuat an kokoh. Kemudian
keadaan mereka memburuk muncul penyuapan dikalangan mereka, meluas kejahatan,
kekuasaan peradilan diperjualbelikan, dan yang dikuasai mesti membayar pajak
tertentu. Hal ini mengundang perampasan kekayaan manusia secara bathil dan
berbuat aniaya dalam hukum hingga kepercayaan manusia terguncang terhdap mereka
dan meraka milai condong pada para qadhi yang terikat dengan hukum-hukum yang
dikenal, hingga mereka menutup atasny pintu bermain-main dengan harta orang,
darah dan kehormatan mereka. Dan keputusannya sesuai dengan ketamakan dan
tujuan mereka dengan pilihannya untuk setiap peristiwa dengan pendapat para
mufti yang tepat dan memuaskan syahwat mereka. Ketika itu madzhab-madzhab telah
dibukukan dan tersebar diberbagai kota/negara Islam, maka penduduk setiap
daerah lebih menyukai seorang hakim/qadhi dari kalangan yang mereka anut.
Madzhab tersebut membuntuti dalam keputusannya dan tidak jauh darinya.
3. Pembukuan madzhab itu menjadi sebab
kesuksesannya. Jumhur berpegang denganya dan mereka tidak perlu terbebani
dengan membahas dan meneliti hal-hal baru, karena hal ini mudah memperolehnya
dan sebagai pengalaman yang teguh dalam penyebaran dan eksistensinya. Tidakkah
anda melihat madzhab imam sahabat dan Tabi’in yang menjadi penerang bagi orang
sesudahnya dan mempunyai pengaruh terbaik dalam hukum Islam? Bagaimana Anda
dapat mempelajari mayoritas dan keagungan keadaannya, sedang tidak ditinggalkan
cerita (catatan) nya selain yang dinukilkan darinya yang terkadang dalam
sebagaian masalah terdapat cartatan perselisihan dan tidak terdapat seorang
pengikut yang komitmen terhadapnya, sebagaimana keadaan pada madzhab-madzhab
yang beredar sekarang? Hal ini tidak terwujud karena ada persiapan untuk
membukukan pendapatnya dan tidak menyiarkannya pada orang banyak, sebagaimana
diri mereka berusaha membukukan pendapat Malik.
4. Para ulama saling hasud/dengki sehingga
mayoritas mereka enggan menampakkan diri sebagai mujtahid karena khawatir
didengki lain ketika itu. Mereka menuduhnya telah membuat bid’ah, sehingga ia
dibenci rakyat dan menghadapi bahaya yang besar.
5. Saling menyempitkan pergaulan para fuqaha
dan saling berdebat di antara mereka. Bila berfatwa, maka fatwanya dibatalkan
dengan fatwa fuqaha lain dan menolaknya, pembicaraannya tidak akan berhenti
kecuali mengetahui kejelasan masalah tersebut dari salah seornag pendahulu
mereka.
6. Berlebihan dalam meringkas yang berakibat
tersia-sia waktu belajar bagi pelajar dan menghalanginya dlam pembentukan
fikihnya.
7. Rusaknya aturan belajar dan merebaknya
ulama dalam kesibukan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya, yang tidak
mendorong, mereka untuk melakukan istimbat dan tidak pada slah satu sebab.
8. Banyaknya kitab karangan. Hal itu,
sebgaimana telah dikatakan tadi, menghalangi karya baru.
9.Hilangnya rasa percaya diri, lemahnya
keinginan dan menurunnya kehendak.
10. Manusia terlalu cinta terhdap materi dan
telah menguasai dirinya serta berpalingnya keinginan untuk mengumpulkan harta.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kondisi terhadap hukum
Islam pada masa kini, banyak muncul ulama-ulama pandai yang memiliki kekuatan
fiqh (pemahaman) dan memiliki kemampuan melakukan istibath, hanya saja mereka
tidak memanfaatkan kemampuan ini sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama sebelumnya
dalam brijtihad dan mentakhrij.
3.2 Saran
Galilah hukum
sedalam-dalamnya, karena setiap orang yang mampu menggali hukum akan selalu
mendapat penghargaan (pahala) dari Allah SWT. Apakah hasil dari ijtihadnya itu
benar atau tidak benar, kalau ia benar menemukan hukum sebagaimana yang
dikehendaki pencipta syari’at, ia akan mendapatkan dua lipat pahala terhadap
upaya yang telah ia lakukan dan pahala menemukan kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Harun Nasution,Islam Ditijau dari Berbagai
Aspeknya, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, cet. Ke 1, Jil. I, h. 9 dst. Lihat juga
H.M.Rasyidi Koreksi Terhadap Dr.Harun Nasution tetang Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, cet. Ke 1, h.15.
[4] Ibid.,dengan merujuk kepada tulisan P. A.
Husein Djajadiningrat, Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten, Leiden, p.
250.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya
panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan
rahmatnyalah maka kami boleh menyelesaikan sebuah Makalah dengan tepat waktu.
Berikut ini penulis
mempersembahkan sebuah makalah dengan judul " Perkembangan Hukum Islam di Indonesia", yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang
besar bagi kita untuk mempelajari ilmu pengetahuan
Melalui kata pengantar
ini kami lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi
makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau
menyinggung perasaan pembaca.
Dengan ini kami mempersembahkan
makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi
makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Samalanga
26 November 2015
Penyususn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar